Senin, 24 Oktober 2016

Pesan dari dalam Mimpi

Kejadian seperti itu aku alami terakhir kalinya ketika aku kelas 3 SD sekitar tahun 2001 atau 2002. Sewaktu kecil, hal seperti ini hampir terjadi setiap harinya. Semakin usiaku bertambah, kejadian itu semakin jarang terjadi sampai malam itu…

Minggu, 23 Oktober 2016
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 atau setengah jam menuju pergantian hari. Saat itu aku belum begitu mengantuk dan masih memainkan ponselku sambil menonton beberapa video agar kantuk cepat tiba. Teringat esok adalah hari Senin dan paginya aku harus berangkat ke kantor.
Kantuk yang belum kunjung datang membuatku memaksa diri untuk tidur dan segera mematikan seluruh lampu. Aku memang tidak bisa tidur walaupun hanya ada sedikit cahaya. Rasanya mengganggu. Sebelum tidur, aku baru mau mematikan sambungan internet di ponselku sampai muncul tiga notifikasi, salah satunya sms. Aku berniat untuk melihatnya besok pagi saja dan langsung mematikan internet. Tidak sengaja terbaca olehku pop up sms yang baru saja masuk. Sms itu berasal dari nomor tak dikenal yang isinya

“Mereka telah menunggumu dan akan segera menyambutmu di sana…”

Aku tidak menghiraukannya karena akhir-akhir ini memang banyak nomor penipuan atau nomor tak dikenal yang iseng. Aku lama-lama pun terlelap sampai tiba-tiba merasa terhisap oleh lorong gelap yang panjang hingga tiba di suatu tempat. Tempat yang asing.

Aku terjatuh di sebuah ruangan dari rumah tua yang sangat luas bergaya jawa yang dilengkapi pendopo,  beberapa pengawal , arsitektur dan perabotan ala zaman dahulu yang serba kayu dengan ukiran-ukiran antik. Sepertinya rumah ini bukan rumah orang biasa. Aku mulai menelusuri ruangan kulihat kanan kiri ada beberapa lukisan yang masing-masing menggambarkan lelaki menggunakan busana khas Jawa. Rautnya tegas. Sepertinya bukan orang dari kalangan biasa. Sambil berjalan menelusuri rumah yang sunyi itu kudengar sayup-sayup sekumpulan orang saling berbincang berpadu dengan musik lawas yang mengalun merdu. Aku segera berlari kecil mendekat dan mulai melihat ada aula besar yang dihiasi lampu antik nan mewah. Aku hanya melihat dari kejauhan ada puluhan atau mungkin ratusan orang yang menggunakan baju mewah saling berdansa. Kaum lelaki memakai jas agak longgar bewarna abu-abu dan putih dengan topi bundar khas meneer Belanda, sedangkan kaum perempuan memakai gaun kurung penuh renda dan rambutnya dihiasi pita besar.

Aku mulai merasa aneh. Mengapa di dalam rumah bergaya tradisional seperti ini ada sekumpulan orang kulit putih yang saling bercengkrama sambil memegang gelas berisi…mungkin wine, karena yang aku tahu itu berwarna merah. Aku terhanyut dalam pikiranku sampai ada seseorang menepukku dari belakang. Segera ku berbalik.

“Sedang apa di sini?”

Aku lihat dari atas sampai bawah pakaiannya seperti seorang pengawal atau mungkin abdi dalem dengan pakaian larik coklat hitam yang khas. Dia bertanya dengan nada kebingungan. Aku yang bingung hanya bisa tengok kanan-kiri dan gugup tak tahu harus jawab apa sampai ada seorang wanita paruh baya dengan kebaya kuning lengkap dengan sanggulnya datang dan tersenyum padaku.

“Ruangannya di sebelah sini…”

Ruangan? Ruangan apa? Dia menunjukkan jalan sambil tersenyum ramah dan aku yang masih bingung dengan apa yang terjadi mulai mengikutinya. Lama-lama aku ketinggalan di belakang dan tiba-tiba wanita itu menghilang entah ke mana. Ada banyak ruangan dan pintu di sana. Ketika aku memutuskan membuka satu pintu, aku melihat ada 4 orang yang berpakaian “normal” sepertiku. Mereka terlihat kebingungan, bahagia sekaligus cemas melihatku di sana. Mereka hanya bisa berbicara lirih dengan nada panik.

“Cepat cari pintu keluar!”

“Segera pergi dari sini mumpung mereka nggak lihat kamu!”

“Cepat pergi sebelum ketahuan!”

“Buruan lari!”

Aku yang bingung ditambah panik mulai mundur meninggalkan mereka dan berlari sekuat tenaga sampai aku tertubruk seseorang kakek yang juga memakai busana jawa dengan blankon sambil memasang muka tidak suka kepadaku.

“MAU KEMANA KAMU? MAU KEMANA?” tanyanya sambil setengah berteriak.

“A..aku…itu…” sambil tidak sadar menoleh ke arah 4 orang tadi.

Kakek itu melihat mereka lalu melihatku kembali dengan muka penuh amarah. Aku segera berbalik dan berlari tak tahu arah dan kakek itu mulai mengejarku. Aku terus berlari sampai kakek itu menghilang dan aku merasa aman. Aku melihat sekitar dan ada sebuah pintu. Aku langsung berlari ke sana berharap itu jalan keluar. Segera kubuka pintu itu, tapi yang kudapat adalah lorong panjang gelap yang membuatku berteriak.

“AAAAAAAAAAAAAAA”

Aku terbangun. Aku melihat ibuku di sebelahku dan melihat sekeliling matahari telah memancar. Sial! Aku kesianganan. Aku segera bangun tapi ibuku menahanku sambil bertanya.

“Kenapa? Tadi mimpi apa? Kok sampai keringetan gitu?”

“Tadi... mimpi dikejar-kejar…sama…” jawabku dengan nafas tak teratur.

“Yaudah…cuma mimpi kan…tiduran dulu aja 20 menitan. Belum telat kok. Nanti ibu bangunin.”

Aku belum beranjak dari kasur dan malah terlelap kembali.

Dan terbangun menyadari aku berada di lorong sempit. Aku berusaha keluar tetap tidak bisa. Hampir aku hampir menangis tapi kemudian mendengar teriakan tidak asing. Adikku. Teriakannya seperti meminta tolong. Aku segera mencari jalan keluar sampai tiba-tiba terperosok dan….terbangun kembali.

“Ah cuma mimpi rupanya”

Dengan kepala sedikit pusing aku masih mendengar teriakan adikku meminta tolong. Ibuku tidak ada. Aku segera menghampiri ke kamarnya. Adikku tidak ada. Tapi terdengar seperti ada yang menggedor-gedor dari dalam lemarinya. Aku segera membukanya. Adikku, yang sudah berumur 17 itu menangis sejadi-jadinya dan memintaku mengeluarkannya dari lemari. Saat menarik keluar, rasanya seperti ada yang menahan adikku dari dalam. Aku segera mencari bantuan para tetangga dan berhasil mengeluarkan adikku. Dia diamankan oleh tetangga ke luar rumah dan aku memeriksa lemari. Penuh dengan anak-anak kecil yang tangannya menjulur keluar seperti akan menarikku ke dalam. 

Aku yang ketakutan segera menutup lemari lalu bergegas keluar rumah dan ketika aku mau menghampiri para tetangga yang tadi menyelamatkan adikku, aku merasa….tertahan….dan seperti ada yang mengontrol tubuhku. Aku mencoba merangkak dengan sekuat tenaga, berusaha berteriak meminta tolong tapi tenggorokanku rasanya sakit walaupun tidak bisa mengeluarkan suara. Aku rasanya ingin menangis dan masih mencoba merangkak. Sampai di depan rumah aku segera melambaikan tangan bermaksud meminta tolong tapi tiba-tiba nafasku tercekat. Seperti ada sesuatu yang mencekikku sampai leherku sakit, tidak bisa bernafas dan kemudian…

Aku terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Kulihat sekeliling. Aku berada di kamar kosku yang gelap karena lampu yang kumatikan tadi. Ya, di sini seharusnya aku berada. Bukan di rumah keraton itu atau di rumahku yang jaraknya ratusan kilometer dari sini. Aku mulai mengatur nafas dan merasa lega. Ternyata tadi aku mimpi buruk. Aku mulai beristighfar lirih dan membaca ayat kursi. Kuambil ponselku untuk melihat jam.

Pukul 04.00 pagi

Ah masih jam 4 rupanya. Seketika aku memegang ponsel, aku teringat sms misterius yang aku terima sebelum aku tertidur. Kubuka inbox smsku untuk mengecek. Tidak ada!

Tidak ada pesan masuk apapun sampai aku harus mengecek semua pesan sampai bawah. Aku ingat betul pesan itu belum kubuka apalagi aku hapus. Seharusnya ada di paling atas di antara deretan pesan masuk. Aku rebahan dan mulai berkeringat dingin. Ayat kursi yang kulantunkan pelan sudah tidak karuan dan mencoba untuk tenang lalu kembali tidur untuk menenangkan diri sebelum waktu subuh tiba. Ketika aku merebahkan diri, ada sesuatu yang memegang punggungku dari kasur. Bentuknya seperti tangan. Hal ini aku alami terakhir kalinya 17 tahun yang lalu. Ada sebuah tangan yang menempel di punggungku. Aku mencoba memejamkan mata kembali sambil membaca ayat kursi. Lama-kelamaan aku tertidur dan merasakan tangan itu hilang perlahan dari punggungku. Aku terlelap kembali sampai alarm ponselku berbunyi pada pukul 04.45 tanda aku harus bangun dan melaksanakan solat subuh. Aku langsung bergegas bangun dari kasur, menyalakan semua lampu dan merasakan kepalaku sangat pusing seperti baru saja terbentur sesuatu yang sangat keras. Aku tidak peduli dan langsung mengambil air wudhu lalu menunaikan ibadah subuh.
Kejadian malam itu merupakan mimpi terburuk selama 17 tahun terakhir ini.


Nb: 60% cerita ini merupakan kisah nyata penulis yang dibumbui dengan fiksi untuk mendukung suasana dan cerita.

Jumat, 03 Juli 2015

"Galau" Inspires Me :)

Sumber: Dokumen Pribadi


Ruang Langit

Hujan memang tak datang
Mentari juga tak mencoba mencari ruang
Hanya kelabu memeluk langit
Namun mungkin saja pelangi mengintip malu-malu
Bersembunyi di balik kelabu itu
Entah kapan ia akan memancar
Mungkin ia menunggu hujan menyatakan rindu pada tanah
Atau mungkin ia tetap bersama dalam pelukan langit

oleh: Irna Noverita
dibuat: Selasa, 17 Februari 2015 (di Kamar Kos Wisma Tidar, Kukel)

Dari dulu nggak pernah bosen buat ngulik puisi, sesulit apapun itu. Puisi itu misterius. Yang terlihat gak seperti kelihatannya. Kelihatan sederhana padahal rumit. Kelihatan rumit padahal sederhana. Puisi juga mirip-mirip sama matematika. Bedanya, matematika cuma punya satu jawaban tapi puisi puluhan..bahkan ratusan J

Jujur, saya itu sama sekali nggak jago bikin puisi jatuh cinta, senang, gembira dan kawan-kawannya. Entah kenapa puisi-puisi saya yang bertema seperti itu saya anggap produk gagal karena nggak ngena, nggak pas, sampe kata-katanya saya ubah berkali-kali. Iya mungkin saya masuk anaknya ikut aliran galauisme. Saya juga gak tahu kenapa saya selalu seneng baca puisi-puisi saya yang bertema kerapuhan, keterpurukan, bimbang, galau, kalut, gelisah apapun itu namanya. Dari dulu saya merasa otak saya selalu dapat inspirasi kata-kata pas saya sedang berada di zona mood negatif (?) *hidup gue negatif amat perasaan*

Setelah saya lihat-lihat lagi buku yang isinya kumpulan puisi-puisi yang saya buat, 80% puisi itu adalah puisi kesedihan, keterpurukan, rapuh, marah, 10% tentang kebahagiaan, cinta, syukur, 10 % lagi adalah puisi yang saya bikin karena melihat isu hangat di masyarakat. Nah kan keliatan..inspirasi terbesar saya ya kegalauan. Entah itu kegalauan saya sendiri atau kegalauan temen-temen yang pada curhat atau kegalauan orang sekitar yang lagi pada gosip hahaha. Intinya ya galau itu udah masuk ke setiap celah inspirasi saya. Sedih banget emang. Yaudah sih galaunya produktif kan? dan tidak mengeluarkan uang sedikitpun. 


Puisi yang gambarnya diupload itu salah satu puisi favorit saya. Kalau pada nanya jangan-jangan ini memang pengalaman pribadi? YES YOU ARE RIGHT hahaha. Silakan buat penilaian masing-masing puisi ini tentang apa jelasnya. Alasan kenapa saya suka adalah puisi di atas gak cuma terlihat galau, tapi gabungan antara galau, syukur, bimbang dan kepasrahan ke Tuhan. Sumpah waktu bikin ini cuma asal coret dan ga ada intensi buat bikin seribet itu tapi jadinya mendingan dibandingin puisi-puisi lain. Aku mah ya cuma remah rengginang kalo dibandingin sama kakak-kakak pujangga di luar sana yang kata-katanya udah dewa banget. Seenggaknya walaupun ga sebagus pujangga di luar sana, puisi bisa jadi pelampiasan saya dalam perasaan apapun. Pas lagi sedih, marah, seneng..kepikiran kata-kata harus langsung ditulis di kertas atau hp biar ga ilang. Kebanyakan sih pas lagi sedih nulisnya..Jadi misalkan lagi seneng dapet inspirasi, nyoba ngerangkai kata...tapi ujung-ujungnya jadi kaya berasa pasrah gitu isinya...emang ya gimana anaknya galau gini. Tapi saya berterima kasih buat kegalauan saya selama ini yang menginspirasi saya untuk produktif (bikin puisi) :)

Selasa, 17 Februari 2015

"Cinta" by Sanusi Pane

Dalam ribaan bahagia datang
Tersenyum bagai kencana
Mengharum bagai cendana
Dalam bah'gia cinta tiba melayang
Bersinar bagai matahari
Mewarna bagai sari

"Aku Ingin" by Sapardi Djoko Damono


aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan 

yang menjadikannya tiada

Back to My Past

It's been a while since I posted "Lupa Bahasa Indonesia? Masa?" Honestly I don't have any idea after that article was posted. What should I post then? Since I have so many random night and random moment here and there, I try to arrange those randomness into poetry. This poem is written while I mused my past and see over the windows in.....KOPAJA..yes..you read it right...That greeny public bus in Jakarta. This poem is written on my way to office. I said, i have a bunch of random moments that others don't know about. Maybe some of you who read this poem will think that I write this when I fall into someone. NO NO you got me wrong. Curious? just read and follow your imagination :)

Aku ingin kau menjadi seperti
Matahari yang tak pernah tenggelam
Bulan yang tak meredup
dan laut yang tak menyurut

Cintaku memang tak sesederhana puisi Sapardi*
atau seromantis puisi Sanusi*

Apa perlu kesederhanaan dalam cinta?
Sedang mawarpun terbalut duri untuk dikagumi
dan hujan harus dimaki sebelum terbit pelangi
Apa aku harus terjatuh berkali-kali seperti hujan
Atau menusuk seperti duri mawar?

by: Irna Noverita
February, 7th-11th 2015 (Kopaja 614)

Sabtu, 24 Mei 2014

LUPA BAHASA INDONESIA? MASA???

Kali ini saya akan pakai bahasa Indonesia karena pengaruh judul  :D

Ada apa sih sama bahasa Indonesia? Masalahnya bukan di bahasanya, tapi ada di penuturnya. Kenapa?
Beberapa hari lalu, tepatnya hari Rabu, dosen bahasa Persia saya, Pak Bastian bercerita pengalamannya selama menempuh studi di Iran. Berhubung waktu itu materi yang diajarin udah abis tapi waktunya masih satu jam lagi jadi beliau kehabisan topik. hahaha. Beliau adalah satu-satunya Doktor bahasa dan sastra Persia di Indonesia, lho *ciye pak Bastian* . Beliau cerita banyak tentang budaya-budaya Iran yang terkadang bikin kaget karena nggak cocok sama orang Indonesia. Gak cuma cerita masalah budaya aja, tapi beliau juga cerita gimana suka-dukanya belajar bahasa di negri yang pamornya masih kalah jauh sama bahasa-bahasa Eropa seperti Inggris, Prancis, dan kronco-kronconya. Hidup di negara orang, memang bukan hal mudah apalagi kita harus bisa berkomunikasi dengan bahasa yang gak pernah kita tahu sebelumnya.

Biasanya, setelah kita dapat beasiswa  di luar negeri yang bahasa resminya bukan bahasa Inggris, kita diwajibkan mengikuti kelas bahasa.Rata-rata sih 1 tahun, tergantung secepat apa kita bisa mengikuti kuliah pake pengantar bahasa tersebut nantinya. Di akhir kelas itu nantinya ada ujian bahasa. Kalau lulus, kita bisa langsung ikut perkuliahan, kalau nggak lulus...dadah aja. Dari cerita Pak Bastian, kalau di Iran yang ga lulus punya 2 opsi. Kuliah pake biaya sendiri atau pulang ke kampung halaman. Nahloh? Mending mana? Mending lulus kan? Kasian orang rumah kan, udah bikin selametan, terus pulang lagi gara-gara gagal kelas bahasa doang. *doang?* Sekarang kita bikin itung-itungan. Kalau dalam waktu 1 tahun belajar bahasa plus bertahan hidup di negeri antah berantah dengan bahasa setempat, otomatis kita mulai terbiasa dan lancar bahasa mereka, dong. Terus bahasa Indonesianya gimana? Nah ini masalahnya.  *itung-itungannya di mana?*

Biasanya, setiap negara punya PPI alias Persatuan Pelajar Indonesia. Karna waktu di Iran, orang Indonesianya sedikit, Pak Bastian lebih memilih berbaur dengan orang lokal. Dari situ beliau bisa mempraktikan bahasa sekaligus mengalami langsung budaya setempat. Sedangkan, kata beliau, kalau di Mesir, sebut aja Universitas Al-Azhar, orang Indonesia udah kayak bedol desa. Bahkan persatuan pelajar bukan cuma per-negara, tapi persuku *macem paguyuban UI* jadi ada persatuan pelajar Jawa, Sumatera, dll saking banyaknya. Ini jadi salah satu penghambat mahasiswa di sana buat belajar bahasa setempat karna tiap hari pakenya bahasa Indonesia mulu, atau malah bahasa daerahnya. Bagusnya, mereka masih memegang teguh budayanya sendiri walaupun di negri orang. Terus, kalau Pak Bastian gimana? Orang Indonesia di Iran kan sedikit? Pulang-pulang macet-macet dong bahasa Indonesianya? Pas bagian cerita itu beliau dengan tegas bilang “Bahasa Ibu itu ga mungkin lupa, itu kan bahasa kita sejak lahir. Bahasa ibu. Adanya juga bukan lupa tapi SENGAJA dilupain”

Nah dari sini beliau cerita panjang. Singkatnya, banyak pelajar Indonesia yang belajar di negara lain, pas pulang ke tanah air bilang udah lupa bahasa Indonesianya.  Padahal, mereka tinggal di sana cuma 4-6 tahunan. Dan kata beliau, kejadian ini banyak dialami pelajar yang baru pulang dari negara2 ‘favorit’ di Eropa. Ada yang pulang2 bahasa Indonesianya kayak C**ta L**ra lah, bahasanya jadi gado-gado lah (Misal Indonesia ft Inggris). Memang gak semua orang2 Indonesia yang pulang kayak gitu, kok. Banyak juga yang pulang2 makin cinta Indonesia gara2 mereka mengalami budaya negatif di negara tempat mereka tinggal atau cuma karena kangen hal-hal kecil kayak rendang, bakso, mie ayam, siomay, soto, es pisang ijo, apapun itu.  Itu semua tergantung orangnya. Beliau bilang, wajar seorang pembelajar bahasa asing lupa beberapa kata pas ngomong bahasa ibunya, karena pasti bingung juga nyaring memori kata di otak, terus disaring lagi mau diomongin dalam bahasa apa. Mau ngomong bahasa apa, yang keluar bahasa apa. *pengalaman pribadi* Tapi ini bukan berarti kita bisa ngomong dengan gampang ‘lupa bahasa Indonesia.‘

Kita  pasti tahu kalau penutur bahasa Indonesia itu ada sekitar 250juta sekian dan beberapa di antara kita juga mungkin tahu kalau bahasa Indonesia adalah bahasa yang gak stabil. Buktinya? Coba kita baca buku teks bahasa Indonesia 50 atau 60 tahun yang lalu, bingung gak? Atau... apa kita tahu bedanya pendidikan dan edukasi? Sama aja kan? Udah ada pendidikan, ngapain pake ada edukasi? Alih-alih serapan dari education jadilah edukasi. Inilah di mana kita sekarang. Tanpa sadar mungkin kita juga berperan dari gado-gadonya bahasa kita. Kita lebih nyaman pake kata ‘thanks’ ‘sorry’ ‘please, dong’ daripada  ‘terima kasih’ ‘maaf’ ‘tolong, dong’. Kalau ini keterusan sampe generasi berikutnya, mungkin aja penutur bahasa Indonesia bisa menyusut sedikit demi sedikit atau yang lebih mungkin adalah EYD bahasa Indonesia 10 tahun lagi bakal beda banget sama sekarang. Gimana jadinya kalau anak cucu ngalamin nasib yang sama kayak kita yang kebingungan baca buku2 jaman Siti Nurbaya?

Yang kita bisa lakuin sekarang adalah HAI KAWAN! BERBANGGALAH BERBAHASA INDONESIA! Kita gak bakal terlihat aneh kalo pake bahasa Indonesia,kok. Coba aja liat kartun-kartun macem Doraemon, Tsubasa, Sailormoon. Gak aneh kan?^^Dan kita juga gak bakal terlihat keren kalo kita sok-sokan lupa bahasa Indonesia terus ujung2nya nyerocos bahasa asing padahal lawan bicara kita masih orang Indonesia dan ga ngerti apa yang kita omongin. Pepatah “di mana bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung” juga harus kita tafsirkan baik-baik, ya^^


Nb: Terima kasih buat Pak Bastian atas inspirasi ceritanya dan temen2 kelas Persia Rabu yang sering maksa beliau buat cerita kalo lagi males belajar XD

Rabu, 07 Mei 2014

SIRNA

Here I am again with a bundle of poetry. I don't  know if this time is the right time to publish this poem. Ugh, I'm such a geek cause I can express nothing instead by words. Yeah, maybe this is the right time. Actually this poem is dedicated for one of my friend who broke with her lover couple days ago. I'm inspired to make it to a poem when I listen to her story. But....half of this part also a part of me haha.

SIRNA


Berselimut pasrah di malam tak berujung

Terbangun dari mimpi yang terjaga
Hingga terjebak dalam realita
Sungguh aku hanya ingin...
Berada dalam lingkaran mimpi saja


Rasa yang menggelayut perih

Di ranting-ranting kerapuhan
Entah hanya aku
Atau dirinya juga


Jika memang cahaya lilin itu nyata

Mengapa api membakarnya
Lalu sirna...

written at Monday night
2014, May 5th