Kali ini saya
akan pakai bahasa Indonesia karena pengaruh judul :D
sumber gambar: http://www.keepcalm-o-matic.co.uk/
Ada apa sih sama
bahasa Indonesia? Masalahnya bukan di bahasanya, tapi ada di penuturnya.
Kenapa?
Beberapa hari
lalu, tepatnya hari Rabu, dosen bahasa Persia saya, Pak Bastian bercerita
pengalamannya selama menempuh studi di Iran. Berhubung waktu itu materi yang
diajarin udah abis tapi waktunya masih satu jam lagi jadi beliau kehabisan
topik. hahaha. Beliau adalah satu-satunya Doktor bahasa dan sastra Persia di
Indonesia, lho *ciye pak Bastian* . Beliau cerita banyak tentang budaya-budaya
Iran yang terkadang bikin kaget karena nggak cocok sama orang Indonesia. Gak cuma
cerita masalah budaya aja, tapi beliau juga cerita gimana suka-dukanya belajar
bahasa di negri yang pamornya masih kalah jauh sama bahasa-bahasa Eropa seperti
Inggris, Prancis, dan kronco-kronconya. Hidup di negara orang, memang bukan hal
mudah apalagi kita harus bisa berkomunikasi dengan bahasa yang gak pernah kita
tahu sebelumnya.
Biasanya, setelah
kita dapat beasiswa di luar negeri yang
bahasa resminya bukan bahasa Inggris, kita diwajibkan mengikuti kelas bahasa.Rata-rata
sih 1 tahun, tergantung secepat apa kita bisa mengikuti kuliah pake pengantar
bahasa tersebut nantinya. Di akhir kelas itu nantinya ada ujian bahasa. Kalau
lulus, kita bisa langsung ikut perkuliahan, kalau nggak lulus...dadah aja. Dari
cerita Pak Bastian, kalau di Iran yang ga lulus punya 2 opsi. Kuliah pake biaya
sendiri atau pulang ke kampung halaman. Nahloh? Mending mana? Mending lulus
kan? Kasian orang rumah kan, udah bikin selametan, terus pulang lagi gara-gara
gagal kelas bahasa doang. *doang?* Sekarang kita bikin itung-itungan. Kalau
dalam waktu 1 tahun belajar bahasa plus bertahan hidup di negeri antah berantah
dengan bahasa setempat, otomatis kita mulai terbiasa dan lancar bahasa mereka,
dong. Terus bahasa Indonesianya gimana? Nah ini masalahnya. *itung-itungannya di mana?*
Biasanya, setiap
negara punya PPI alias Persatuan Pelajar Indonesia. Karna waktu di Iran, orang
Indonesianya sedikit, Pak Bastian lebih memilih berbaur dengan orang lokal.
Dari situ beliau bisa mempraktikan bahasa sekaligus mengalami langsung budaya
setempat. Sedangkan, kata beliau, kalau di Mesir, sebut aja Universitas
Al-Azhar, orang Indonesia udah kayak bedol desa. Bahkan persatuan pelajar bukan
cuma per-negara, tapi persuku *macem paguyuban UI* jadi ada persatuan pelajar
Jawa, Sumatera, dll saking banyaknya. Ini jadi salah satu penghambat mahasiswa
di sana buat belajar bahasa setempat karna tiap hari pakenya bahasa Indonesia
mulu, atau malah bahasa daerahnya. Bagusnya, mereka masih memegang teguh
budayanya sendiri walaupun di negri orang. Terus, kalau Pak Bastian gimana? Orang
Indonesia di Iran kan sedikit? Pulang-pulang macet-macet dong bahasa
Indonesianya? Pas bagian cerita itu beliau dengan tegas bilang “Bahasa Ibu itu
ga mungkin lupa, itu kan bahasa kita sejak lahir. Bahasa ibu. Adanya juga bukan
lupa tapi SENGAJA dilupain”
Nah dari sini
beliau cerita panjang. Singkatnya, banyak pelajar Indonesia yang belajar di
negara lain, pas pulang ke tanah air bilang udah lupa bahasa Indonesianya. Padahal, mereka tinggal di sana cuma 4-6 tahunan.
Dan kata beliau, kejadian ini banyak dialami pelajar yang baru pulang dari
negara2 ‘favorit’ di Eropa. Ada yang pulang2 bahasa Indonesianya kayak C**ta
L**ra lah, bahasanya jadi gado-gado lah (Misal Indonesia ft Inggris). Memang
gak semua orang2 Indonesia yang pulang kayak gitu, kok. Banyak juga yang
pulang2 makin cinta Indonesia gara2 mereka mengalami budaya negatif di negara
tempat mereka tinggal atau cuma karena kangen hal-hal kecil kayak rendang,
bakso, mie ayam, siomay, soto, es pisang ijo, apapun itu. Itu semua tergantung orangnya. Beliau bilang,
wajar seorang pembelajar bahasa asing lupa beberapa kata pas ngomong bahasa
ibunya, karena pasti bingung juga nyaring memori kata di otak, terus disaring
lagi mau diomongin dalam bahasa apa. Mau ngomong bahasa apa, yang keluar bahasa
apa. *pengalaman pribadi* Tapi ini bukan berarti kita bisa ngomong dengan
gampang ‘lupa bahasa Indonesia.‘
Kita pasti tahu kalau penutur bahasa Indonesia itu
ada sekitar 250juta sekian dan beberapa di antara kita juga mungkin tahu kalau
bahasa Indonesia adalah bahasa yang gak stabil. Buktinya? Coba kita baca buku
teks bahasa Indonesia 50 atau 60 tahun yang lalu, bingung gak? Atau... apa kita
tahu bedanya pendidikan dan edukasi? Sama aja kan? Udah ada pendidikan, ngapain
pake ada edukasi? Alih-alih serapan dari education
jadilah edukasi. Inilah di mana kita sekarang. Tanpa sadar mungkin kita juga
berperan dari gado-gadonya bahasa kita. Kita lebih nyaman pake kata ‘thanks’ ‘sorry’
‘please, dong’ daripada ‘terima kasih’ ‘maaf’
‘tolong, dong’. Kalau ini keterusan sampe generasi berikutnya, mungkin aja
penutur bahasa Indonesia bisa menyusut sedikit demi sedikit atau yang lebih
mungkin adalah EYD bahasa Indonesia 10 tahun lagi bakal beda banget sama
sekarang. Gimana jadinya kalau anak cucu ngalamin nasib yang sama kayak kita
yang kebingungan baca buku2 jaman Siti Nurbaya?
Yang kita bisa
lakuin sekarang adalah HAI KAWAN! BERBANGGALAH BERBAHASA INDONESIA! Kita gak
bakal terlihat aneh kalo pake bahasa Indonesia,kok. Coba aja liat kartun-kartun
macem Doraemon, Tsubasa, Sailormoon. Gak aneh kan?^^Dan kita juga gak bakal
terlihat keren kalo kita sok-sokan lupa bahasa Indonesia terus ujung2nya
nyerocos bahasa asing padahal lawan bicara kita masih orang Indonesia dan ga
ngerti apa yang kita omongin. Pepatah “di mana bumi dipijak, di sanalah langit
dijunjung” juga harus kita tafsirkan baik-baik, ya^^
Nb: Terima kasih
buat Pak Bastian atas inspirasi ceritanya dan temen2 kelas Persia Rabu yang
sering maksa beliau buat cerita kalo lagi males belajar XD